Manhaj Teologi Islam


Ada tiga aspek manhaj teologi Islam, yaitu:
- manhaj dari perkembangan ilmu tauhid
- alat yang digunakan oleh ilmu tauhid dalam mencari kebenaran Allah
- manhaj yang digunakan oleh ilmu tauhid dalam membuktikan kebenaran dalam ilmu tauhid.
Penjelasannya nanti di sub bahasan selanjutnya di bawah.

Definisi Manhaj
Manhaj dalam bahasa berarti jalan yang jelas dan jelas. Manhaj menurut istilah adalah aturan dan ketentuan yang digunakan untuk setiap pelajaran ilmiah, seperti aturan bahasa Arab, ushul aqidah, ushul fiqh, dan ushul tafsir, dimana dengan ilmu-ilmu ini, proses belajar Islam dan mata pelajarannya menjadi tertib dan benar. Menurut pemahaman para sahabat, Rasulullah SAW adalah manhaj sejati, jalan hidup yang lurus dan cerah dalam agama.

Manhaj Ilmu Tauhid
Selama masa Rasul, pengetahuan ilmu tauhid dalam sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri dalam Islam, belum ada. Selama masa Rasulullah, umat Islam tidak banyak bertanya tentang apa yang dikatakan Rasul, tetapi mereka berperilaku "samiâna wa atha'na" (kami mendengarkan dan kami patuh). Karena itulah tauhid belum menjadi ilmu.

Namun, setelah Nabi wafat dan Islam menjadi lebih luas dan berkembang, berbagai masalah muncul. Para ulama mencoba untuk mengkaji ajaran tauhid dari sumber ajaran Al Quran dan hadits dengan maksud untuk:

  • Memberikan jawaban atas masalah-masalah tauhid yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam sebagai akibat logis dari dinamika perkembangan sosial umat Islam.
  • Memberikan jawaban terhadap pengaruh kepercayaan dan pemahaman lain yang telah memasuki dunia Islam oleh para ulama yang dipandang sebagai ancaman dan bahaya bagi kemurnian akidah Islam.
  • Mengkonkretkan ajaran tauhid karena oleh para ulama masalah ini dianggap masih kabur dalam Al Quran dan hadis, khusunya untuk orang-orang awam.


Manhaj Perkembangan Ilmu Tauhid
Ilmu tauhid sebagai disiplin ilmu yang membahas masalah ketuhanana dalam Islam, merupakan hasil perumusan para ulama dari ajaran-ajaran Allah yang terkandung dalam Al-Quran dan hadits. Manhaj atau cara proses pengembangan pengetahuan ini tidak tumbuh sekaligus dalam waktu singkat, tetapi lahir dan tumbuh secara bertahap sesuai dengan keadaan dan faktor yang terjadi di dunia Islam itu sendiri.

Ketika diklasifikasikan penyebab munculnya Tauhid sebagai disiplin ilmu dalam Islam, dapat dinyatakan sebagai berikut:

Faktor internal
Merupakan penyebab yang muncul dalam diri mereka. Faktor internal juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
- faktor yang berasal dari Al Quran
- faktor yang berasal dari umat Islam

Yang berasal dari Al Quran, contohnya :

  • Al Quran mendebat kaum musyrik dan ateis dan menolak semua argumen mereka.
  • Ada ayat-ayat mutasyabihah dalam Al Quran yang menyebabkan kecenderungan hati manusia untuk memahami dan mendiskusikan maknanya.
  • Al Quran menghargai nalar manusia dan bahkan menghadirkan titah kepada pikiran sehingga dapat berfungsi secara optimal untuk memperhatikan alam dan cakrawala dalam membuktikan kebenaran keesaan Tuhan.


Yang berasal dari umat Islam, contohnya :

  • Kemenangan yang diraih oleh umat Islam dalam perang telah mengantarkan mereka sebagai negara yang kuat dan menang dan merasa aman hidup di negara mereka. Dengan situasi ini, Islam memiliki kesempatan yang aman untuk melakukan diskusi filosofis tentang masalah agama, sehingga tidak lagi membatasi dirinya pada makna dzahir nash seperti pada periode sebelumnya.
  • Masalah perbedaan dalam pemahaman politik di kalangan Muslim membawa mereka ke dalam kelompok. Selain itu, pemahaman politik ini menghasilkan pembunuhan para khalifah Utsman dan Abu Thalib. Untuk kepentingan politiknya, banyak Muslim pada waktu itu berani membuat ayat-ayat Al Quran sebagai alat memperkuat posisi politik mereka. Ini terjadi karena memang pada saat itu pengaruh agama sangat kuat pada jiwa umat Islam dan keinginan mereka untuk mengaitkan agama dengan suatu peristiwa sangat kuat.
  • Kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, sangat sempurna pada abad-abad awal hijriah, dan memang ini sangat sesuai dengan karakter budaya orang-orang Arab dan bahkan diperkuat oleh ajaran Islam. Keadaan seperti inilah yang membuat perbedaan pendapat sangat subur di kalangan umat Islam saat itu.


Faktor eksternal
Merupakan penyebab yang berasal dari luar Islam, yaitu:
-  pengaruh kepercayaan dan agama lain
- pengaruh filsafat Yunani

Kebanyakan orang yang masuk agama Islam pada masa penaklukan di era Khulafaur Rashidin berasal dari orang yang telah memeluk agama atau paling tidak memiliki agama Islam, tetapi kepercayaan lama kemudian mereka padukan dengan ajaran aqidah Islam sehingga itu terjadi dengan apa yang disebut istilah "sinkretisme".

Dengan demikian aqidah Islam tidak lagi murni dan pada gilirannya sulit untuk membedakan ajaran mana yang Islam murni dan ajaran mana yang bersumber dari agama lain. Menyadari bahaya dari situasi ini, para ulama melakukan tindakan kemurnian dan mengajarkan orang-orang tentang aqidah yang benar sehingga dapat membedakannya dari aqidah non-Islam.

Selanjtnya, dengan majunya perkembangan dunia Islam dan membuka diri terhadap perkembangan budaya internasional, pemikiran filosofis Yunani akhirnya memasuki dunia Islam. Pemikiran filosofis Yunani sangat menarik bagi para ulama karena Al Quran sendiri sangat mendorong orang untuk berpikir secara filosofis.

Alat yang digunakan oleh ilmu tauhid dalam mencari kebenaran Allah 
Ilmu tauhid adalah ilmua yang membahas tentang Tuhan menurut ajaran Islam. Dalam mendiskusikan dan menegakkan kebenaran adanya Allah, alat yang digunakan dalam pengetahuan tentang ketuhanan adalah hukum.

Ada tiga hukum yang digunakan oleh ilmu tauhid dalam menentukan dan mempertahankan keberadaan Allah, yaitu:

Hukum Syariah
Ini adalah hukum atau perintah Allah SWT yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis Nabi. Hukum syara terbagi 2 yakni taklifi dan wadl'i.

Taklifi berarti bahwa perintah Allah kepada orang-orang beriman untuk mengakui keberadaan-Nya, melaksanakan perintah wajib dan sunah, atau menghindari larangan-Nya dan yang makruh serta dapat memilih di antara yang mubah.

Wadl'i berarti bahwa perintah Allah untuk menunjukkannya adanya sebab, syarat atau larangan untuk kebaikan atau kerusakan.

Hukum adat
Merupakan hukum yang ditentukan atau tidak pada sesuatu yang didasarkan pada kebiasaan yang berlaku karena terjadi berulang kali. Contoh-contoh hukum adat adalah rasa kenyang biasanya terjadi setelah makan, sehingga hukum adat menetapkan bahwa makan itu mengenyangkan. Kebiasaan ini berlaku untuk semua manusia di bumi.

Hukum akal sehat
Merupakan hukum untuk mengatur satu kasus terhadap kasus lain dengan memakai logika, jadi itu bukan karena kebiasaan dan juga bukan karena syara yang menetapkan. Sebagai contoh, kita menetapkan wujud Allah dengan dalil sebagai berikut :

  • Allah wajib ada, artinya tidak terbayang oleh akal kalau Allah tidak ada
  • Mustahil Allah tidak ada, artinya tidak dapat dibayangkan oleh akal keberadaan Allah tidak ada.


Manhaj Pembuktian Kebenaran dalam Ilmu Tauhid
Dalam ilmu alam, membuktikan kebenaran sesuatu didasarkan pada hasil pengamatan, dan melalui eksperimen atau percobaan dan pengujian laboratorium, yang berarti pengamatan langsung melalui panca indera dibantu dengan peralatan teknis pada objek penelitian.

Lebih jauh lagi, bukti kebenaran dalam filsafat bukanlah hasil dari pengamatan empiris. Bukti kebenaran dalam filsafat adalah pengaturan pemikiran (sillogisme) yang dianggap logis dan rasional, yaitu diterima dan ditelan oleh akal.

Jadi bukti kebenaran yang paling utama dalam ilmu tauhid adalah wahyu Allah. Sehingga walaupun pernyataan wahyu misalnya tidak dapat dibuktikan secara empiris saat ini, atau tidak dapat ditelan alasannya, maka bagi ilmu tauhid bukanlah masalah, bukan sesuatu yang mengurangi keyakinan dan melemahkan iman bagi orang yang bertauhi. 

Jadi, meskipun filsafat dan ilmu tauhid sama-sama membahas tentang Tuhan, tetapi metode untuk membuktikan kebenaran di antara keduanya sangat berbeda.

Cendekiawan tauhid atau ahli teologi Muslim, pertama-tama akan percaya pada pokok permasalahan dan percaya pada kebenarannya dan menetapkan teorema pemikiran sebagai buktinya, sedangkan diskusi dan pemikiran filsafat ilahi tidak dimulai dari kepercayaan, tetapi sampai mencapai hasil.

Mengenai metode yang berbeda dalam membuktikan kebenaran antara filsafat ilahi dan tauhid ini, A. Hanafi berpendapat bahwa para ulama tauhid atau teolog Islam seperti pembela perkara yang tulus dan menganggapnya benar. 

Sedangkan filsuf itu ibarat hakim yang memeriksa suatu kasus. Dia tidak akan memberikan keputusan kecuali setelah mendengar alasan pihak-pihak yang berkepentingan dan melihat buktinya, maka dia mengeluarkan keputusan tanpa memihak salah satu dari mereka.

Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi menyatakan bahwa pemikiran seorang filsuf tentang Tuhan adalah pemikiran tentang wijud yang absolut dan hal-hal yang berkaitan dengan wujud itu sendiri. 

Tetapi pemikiran para ulama tauhid tentang hal ini dapat menunjukkan kepada zat yang memberiwujud. Dengan kata lain, diskusi tentang tauhid adalah kepercayaan agama Islam setelah didianggapnya benar dengan syariat dan dapat dibuktikan dengan argumen pemikiran.

Memang, dengan metode verifikasi kebenaran ini, banyak ilmuwan keberatan dengan ilmu tauhid yang disebut sebagai ilmu dan mereka bertanya mengapa teologi Islam disebut ilmu? Bukankah lebih pantas disebut iman ?

Maka jawaban yang diajukan oleh para ulama tauhid seperti Yoesoef Sou'yb adalah bahwa setiap yang disebut ilmu itu tidak harus didasarkan pada bukti pengamatan langsung dari panca indera. Misalnya, bukankah sejarah dan arkeologi juga disebut ilmu? 

Bukti dalam ilmu sejarah tidak didasarkan pada pengamatan langsung dari sejarawan pada peristiwa di zaman kuno, zaman pertengahan terutama zaman kuno, tetapi berdasarkan catatan atau jejak peninggalan yang menggambarkan peristiwa masa lalu. 

Begitu juga dengan arkeologi, buktinya tidak hanya berupa penarikan kesimpulan pada tulang dan benda-benda kuno yang ditemukan. Dengan demikian, tidak ada keberatan jika berbicara tentang Tuhan juga disebut sebagai "ilmu" sampai disebut teologi sebagaimana panggilan untuk geologi dan sebagainya, meskipun buktinya tidak didasarkan pada pengamatan. 

Jika ada orang yang keberatan berbicara tentang Tuhan sebagai sebuha ilmu, maka mereka juga harus menolak menyatakan sejarah dan arkeologi sebagai ilmu.
 
Sumber :

Tag : manhaj islam, teologi islam
Back To Top