Islam di Islandia


Islandia telah mengenal Islam sejak tahun 1627 silam atau dimulai jauh sejak Abad Pertengahan, yang dibuktikan dengan adanya koin-koin Arab di pulau Nordik tersebut. Kontak pertama Islam dengan Islandia seiring dengan peristiwa yang tak terduga. Di tahun tersebut, sebagian wilayah Islandia dikuasai perompak laut dari Afrika Utara, yakni dari Maroko dan Aljazair.

Rakyat Islandia mengingat peristiwa tersebut sebagai Tyrkjaránið atau "Turkish Abductions" yang berarti penculikan Turki. Mereka mendarat di Islandia tanpa mengusung dakwah Islam.

Peristiwa tersebut diprediksi menjadi awal mula Islandia mengenal Islam. Apalagi melihat dalam sejarahnya, banyak pemukim Islandia yang dibawa ke Afrika Utara di wilayah kekhalifahan Turki Utsmani.

Saat ini, Islam pun eksisi di negara kawasan atlantik tersebut. Muslimin di Islandia masih menjadi kaum minoritas di tengah dominasi Kristen. Jumlahnya tak mencapai satu persen. Tepatnya hanya 0,2 persen dari total populasi negara 312 ribu jiwa, atau sekitar 1.200 muslim. Komunitas muslim di Islandia lebih banyak terkonsentrasi di ibukota negara ini, Reykjavik.

Kendati demikian, mereka selalu kompak dan hidup bersama dalam sebuah komunitas di negara pecahan Denmark tersebut. Mereka bersatu dalam ukhuwah Islamiyyah meski komposisi muslim dari warga asli hanya sekitar 300 jiwa. Sisanya merupakan imigran dan warga asing yang memeluk Islam.

Komunitas muslim di Islandia merupakan yang terkecil di dunia, hanya berjumlah sekitar 694 orang. Namun setiap orang sangat aktif dalam kegiatan keislaman. Sebagian merupakan bagian dari Asosiasi Muslim Islandia (Félag Múslima á Íslandi). Sebagian lain bergabung dalam Pusat Kebudayaan Islam Islandia (Islamic Cultural Centre of Iceland / ICCI). Kedua asosiasi tersebut sangat kompak dalam membangun Islam di negara seluas 103 kilometer persegi tersebut.


Islam di Islandia


Terdapat sebuah masjid yang dikelola oleh Félag Múslima á Íslandi di kota Reykjavik, An-Nuur Moskan í Reykjavík (Masjid An-Nuur Reykjavik). Awalnya tidak ada masjid di Islandia, mereka beribadah di dalam sebuah ruang di lantai tiga sebuah gedung perkantoran.  Namun hal tersebut segera berubah, setelah menanti selama 14 tahun sebelum akhirnya mendapat izin untuk membangun masjid tahun 2013.

Ibu kota Islandia Reykjavik akan menjadi tempat bagi masjid pertama negara tersebut. Sepetak lahan di Sogamýri, sebuah distrik mewah di tengah kota, diberikan secara gratis kepada umat Muslim, dari hasil pembayaran pajak Islandia.

Masjid dengan luas 2.621,3 meter persegi tersebut memiliki aula shalat, pusat kegiatan warga, dan sebuah menara setinggi 9,14 meter. Perkiraan biaya yang dihabiskan untuk proyek ini adalah $3,3 juta (Rp 39,6 miliar).

Tidak sedikit hambatan yang didapat dari non muslim untuk membangun mesjid ini. Pemimpin Partai Progresif Sveinbjörg Birna Sveinbjörnsdóttir menyuarakan protes anti-Muslim secara online. Ia juga menyampaikan pada koran Islandia Visir: “Saat kita memiliki sebuah gereja nasional kita tidak seharusnya mengalokasikan lahan untuk bangunan-bangunan seperti masjid.”

Sveinbjörnsdóttir mendesak pejabat kota untuk menarik kembali janji mereka kepada Asosiasi Muslim Islandia perihal lahan gratis untuk membangun masjid. Situs Iceland Review juga melaporkan bahwa kritikus seperti Sveinbjörnsdóttir menjelek-jelekkan artikel Visir di dunia maya terkait rencana pembangunan masjid, dengan komentar-komentar kasar yang ditujukan pada pendiri Asosiasi Muslim Islandia Salmann Tamimi dan ketua umum Ibrahim Sverrir Agnarsson.

Menanggapi hal tersebut, Tamimi dan pengacaranya mengumumkan rencana mereka untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang yang membuat komentar online.

“Hal ini bisa berdampak sangat serius bagi komunitas kami. Mereka (Partai Progresif) hanya ingin mendapatkan suara, tidak peduli bagaimana caranya,” ujar Tamimi kepada Visir.

Anggota Parlemen dari Partai Kemerdekaan Brynjar Níelsson juga ikut serta dalam protes tersebut, dan menekankan bahwa memberikan lahan pada kelompok keagamaan merupakan tindak melanggar hukum.

Ia mengatakan pada koran independen Islandia Pressan: “Ini bukan masalah peraturan kesetaraan. Merupakan tanggung jawab kita, berdasarkann undang-undang, untuk melindungi Gereja Nasional Islandia. Kita memiliki peraturan cara menjalankannya dan apa yang harus dilakukannya. Dan tidak seorang pun dapat mengalihkannya kepada organisasi keagamaan lain maupun agama apa saja. Anda harus membuat undang-undang khusus untuk itu.”

Syukurlah, ada hikmah yang dapat diambil dari kejadian ini yang mana penduduk Islandia berinisiatif menunjukkan dukungan mereka untuk pembangunan masjid. Tamimi mengatakan pada Iceland Review: “Saya menerima surel dari orang-orang yang menanyakan cara untuk mendaftar. Saya agak terkejut, namun sangat senang.”

Di barisan terdepan pendukung non-Muslim terdapat wartawan Gunnar Smari Egilsson, yang dalam sebuah posting Facebook menuliskan bahwa ia akan bergabung dengan Asosiasi Muslim Islandia hanya agar organisasi tersebut dapat menerima sebagian pajak yang ia bayarkan sebagai sumbangan sebagaimana yang diatur oleh hukum Islandia.

Dengan menyebut serangan Partai Progesif sebagai “tindakan xenophobia”, Egilsson menuliskan bahwa bergabung dengan Asosiasi Muslim Islandia dapat “membantu anggotanya melindungi diri sendiri dari serangan dan kebohongan yang dilakukan oleh Partai Progresif dan para pendukungnya”.

Egilsson tidak terdaftar pada organisasi keagamaan mana pun. Hukum Islandia hanya memperbolehkan penduduknya bergabung dengan satu organisasi keagamaan dalam satu waktu.

Meski dukungan yang diperlihatkan sangat menggembirakan, Tamimi mengatakan bahwa ia berharap para pendukung tidak meninggalkan gereja nasional hanya untuk menunjukkan dukungan. “Ada ruang di dalam kepercayaan Kristiani untuk berjuang membela hak azasi orang beragama lain,” ujarnya.

Sumber :
http://khazanah.republika.co.id/
https://islamislogic.wordpress.com

Tag : syiar
Back To Top