Mengapa kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang lain ? Alasan mengapa kita dilarang berprasangka buruk terhadap orang lain karena menimbulkan akibat. Adapun akibat berprasangka buruk adalah :
- Prasangka atau suudzon bisa mendatangkan dosa.
- Membuat kita sulit untuk bahagia.
- Prasangka buruk dapat merusak hubungan yang harmonis, baik dengan kerabat, sahabat maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu, prasangka buruk sangat dilarang.
- Secara tidak langsung telah menyakiti perasaan orang lain
- Membuat iblis bahagia
Dalil Al Quran dan Hadits Tentang Prasangka Buruk
Kita tidak boleh berprasangka buruk dan menggunjing hal ini terdapat pada Surat Yunus (10) ayat 36 : ''Prasangka itu tidak mendatangkan kebenaran apa pun.'' Kemudian dalam Surat Al-Hujurat (49) ayat 12, Allah SWT juga berfirman: ''Hai orang-orang yang beriman, jauhilah memperbanyak prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa.''
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk menjauhi sebagian besar prasangka dan tidak mengatakan bahwa kita harus menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas qarinah (rambu-rambu yang mengarah ke sana) tidak dilarang.
Itu adalah sifat manusia. Ketika dia mendapat qarinah yang kuat maka zhannya muncul, apakah zhan itu baik atau buruk. Manusia mau tidak mau menuruti qarinah yang ada. Sesuatu seperti ini tidak masalah.
Yang dilarang hanyalah prasangka belaka tanpa qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dideklarasikan olehnya sebagai ucapan yang paling bohong. (Syarhu Riyadhis Shalihin, 3 atau 191)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu bersabda, “Allah Subhanahu wa Ta'ala bersabda untuk mengharamkan hamba-Nya dari banyak kecurigaan, yaitu menuduh dan menganggap makar kepada keluarga, kerabat dan orang lain sebagai hal yang tidak pantas.
Karena sebagian dari kecurigaan tersebut adalah dosa murni, menjauhlah dari kebanyakan dari mereka sebagai pencegahan. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu dia berkata,' Jangan pernah berprasangka buruk kecuali kebaikan satu kata yang keluar dari saudara seimanmu, jika Anda menemukan kemungkinan kebaikan dalam kata itu. (Tafsir Ibn Katsir, 7 atau 291)
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pernah menyampaikan hadits Nabi Shallallahu' alaihi wa sallam yang artinya: Berhati-hatilah dengan prasangka buruk (zhan) karena zhan adalah ucapan yang paling bohong.
Jangan dengarkan orang lain saat mereka tidak menyukainya. Jangan mencari kemaluan atau cacat atau hinaan orang lain. bersaing untuk menguasai sesuatu. Tidakkah kalian saling membenci dan saling berpaling dari satu sama lain.
Jadilah kalian saudara dan saudari Allah seperti yang Dia perintahkan. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, jadi dia tidak boleh menyalahgunakan saudaranya, jangan beri pertolongan atau bantuan kepada saudaranya dan jangan meremehkannya.
Kesalehan ada di sini, kesalehan ada di sini. Dia menunjuk (menunjuk) ke arah dadanya. “Sudah cukup bagi seseorang menjadi jelek jika dia merendahkan sesama Muslim. Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya, darah, kehormatan dan hartanya adalah haram. Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuhmu, atau penampilanmu, tetapi dia melihat di hatimu dan perbuatanmu. "(HR.? Al-Bukhari no. 6066 and Muslim no. 6482)
Zhan yang disebutkan dalam hadits di atas dan juga dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan yang diperingatkan dan dilarang adalah tuduhan tanpa sebab apapun. Seperti seseorang yang dituduh fahishah (zina) atau dituduh meminum khamr meski tidak terlihat tanda-tanda yang mengharuskannya melontarkan tuduhan terhadapnya.
Jadi, jika tidak ada tanda dan sebab yang benar yang nampak (nampak), maka zina haram itu buruk. Terlebih bagi orang yang tertutup dan yang tampak dari mereka hanyalah kebaikan atau pergeseran.
Berbeda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan melakukan maksiat, atau melakukan hal-hal yang menimbulkan kecurigaan seperti keluar-masuk warung arak, berteman dengan wanita penghibur fajir, suka melihat hal-hal yang haram dan sebagainya.
Orang dalam kondisi ini tidak dilarang untuk berprasangka buruk padanya. (Al-Jami 'li Ahkamil Qur`an 16 atau 217, Ruhul Ma'ani 13 atau 219)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan perkataan Al-Khaththabi tentang haramnya zhan, Zhan yang diharamkan adalah zhan yang tetap berada dalam diri seseorang, tetap menghuni hatinya, bukan zhan yang hanya diketik di hati dan kemudian lenyap tanpa ada di dalam hati.
Karena zhan terakhir ini di luar kemampuan seseorang. Seperti yang telah disampaikan dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuni orang ini dari apa yang terlintas di hatinya selama dia tidak mengatakannya atau dia sengaja1 . "(Al-Minhaj, 16 atau 335)
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya dapat kita temukan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata: “Berhati-hatilah dengan kata-kata yang meskipun benar kamu tidak diberi pahala, tetapi jika kamu salah kamu akan berdosa. Kata-kata itu adalah prasangka terhadap saudaramu ”.
Dinyatakan dalam kitab Al-Hilyah karangan Abu Nu'aim (II / 285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata:“ Jika ada kabar tentang perbuatan saudaramu yang tidak kamu sukai , maka berusahalah keras untuk mencari alasan baginya.
Jika kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakan pada dirimu sendiri, “Menurutku kakakku punya alasan yang tepat untuk melakukan hal ini. “Saya pernah menyebut seseorang yang jelek di depan Iyas bin Mu'awiyyah.
Dia juga melihat wajah saya dan berkata, "Apakah kamu pernah berperang melawan orang Romawi?" Saya menjawab, "Tidak". Dia bertanya lagi, "Bagaimana dengan memerangi Sind, Hind (India) atau Turki?"
Saya juga menjawab, "Tidak". Dia berkata, "Apakah pantas, Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari keburukanmu sementara saudara Muslimmu tidak selamat dari keburukanmu?" Setelah kejadian itu saya tidak pernah melakukan hal seperti itu lagi “
Komentar saya:“ Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu'awiyah yang terkenal dengan kecerdasannya. Dan jawaban di atas adalah contoh kecerdasannya ”.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti mengatakan dalam kitab Raudhah Al-'Uqala (hal.131), “Orang yang beralasan wajib mencari keselamatan diri dengan meninggalkan amalan tajassus dan selalu sibuk memikirkan keburukan dirinya sendiri.
Orang yang sibuk memikirkan keburukan dirinya sendiri dan melupakan keburukan orang lain, hatinya akan tenang dan tidak akan merasa lelah. Setiap kali melihat keburukan dalam dirinya, ia akan merasa terhina ketika melihat keburukan serupa pada kakaknya.
Sedangkan seseorang yang selalu sibuk memperhatikan keburukan orang lain dan melupakan keburukannya sendiri, hatinya akan menjadi buta, badannya akan terasa lelah dan akan sulit baginya untuk meninggalkan keburukannya.
“Tajassus adalah cabang kemunafikan, sama seperti prasangka baik adalah cabang iman di sisi lain. Orang yang berakal memiliki prasangka baik terhadap saudaranya dan tidak ingin membuatnya sedih dan berduka. Sementara itu, orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk terhadap saudaranya dan tidak akan ragu untuk berbuat jahat dan membuatnya menderita”.
Dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW menegaskan:
إياكم والظنَّ فإنَّ الظن أكذَبُ الحديثِ
''Takutlah kalian
berprasangka, karena ia merupakan sedusta-dusta perkataan.''
Ayat Al Quran dan hadits di atas memberikan penegasan tentang keburukan prasangka dalam kerangka moral Islam. Prasangka ini tentu saja sangat mudah untuk dimunculkan, entah itu hanya di benak kita, atau sudah kita artikulasikan dengan kata-kata atau tindakan yang diskriminatif.
Sederhananya, prasangka dapat muncul dalam proses membuat penilaian sebelum mengetahui fakta yang relevan tentang suatu objek atau individu. Itu juga bisa muncul dalam sikap yang tidak masuk akal atau kecenderungan untuk menilai apa pun, bahkan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita.
Dengan demikian, jelas bahwa prasangka adalah perbuatan yang berbanding lurus dengan dosa dalam pandangan Allah SWT dan ucapan-dusta dalam pandangan Nabi Muhammad. Oleh karena itu, prasangka harus dihindari sedapat mungkin, dan hanya orang beriman yang dapat melakukannya.
Dalam memaparkan tentang pengertian prasangka, Imam Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa ada dua jenis prasangka. Prasangka yang mendatangkan dosa dan prasangka yang tidak berujung pada dosa.
Yang pertama dilakukan oleh orang-orang yang berprasangka buruk dengan menunjukkannya melalui ucapan. Yang kedua dilakukan oleh orang-orang yang hanya berprasangka buruk di hati.
Imam Ats Tsauri menilai model prasangka yang pertama memiliki implikasi dosa. Sedangkan yang kedua tidak. Namun, jika kita melihat lebih dekat, model prasangka kedua bisa membuka jalan bagi prasangka model pertama.
Dengan kata lain, prasangka yang ditumpahkan melalui perkataan ini terjadi karena bersumber dari prasangka di dalam hati. Oleh karena itu, orang percaya harus tetap menghindari kedua model prasangka tersebut.
Apalagi menurut banyak riwayat, sebenarnya Allah SWT melihat apa yang ada di lubuk hati para hamba-Nya. Artinya, prasangka di dalam hati tidak pernah luput dari pengamatan Allah SWT.
Hal ini perlu diangkat ke permukaan, karena dalam kondisi bangsa yang kacau balau ini sangat mungkin terjadi saling prasangka buruk.
Prasangka dalam hati ini bersifat kognitif atau masih ada di pikiran kita. Hal ini mengacu pada munculnya penilaian tertentu terhadap orang lain berdasarkan informasi yang kemungkinan terbatas atau bahkan tidak valid.
Belum lagi, kita juga kerap memiliki bias tertentu yang lahir dari pengalaman masa lalu kita. Pada level ini, prasangka masih ada di benak individu dan mungkin tidak memiliki dampak sosial apa pun kecuali implikasi psikologis dalam benak kita yang, jika dilanjutkan, kemungkinan besar akan memengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain.
Di sisi lain, ketidakakuratan penilaian ini tidak selalu negatif. Dalam Islam, ada istilah prasangka baik (husnudzon), yang walaupun keduanya berasal dari penilaian yang tidak akurat lebih dianjurkan, karena lebih menyehatkan pikiran kita dan dapat menjadi dasar munculnya sikap dan perilaku positif terhadap orang lain.
Setelah ini, biasanya timbul prasangka yang memengaruhi perasaan kita. Pada tingkat ini, penilaian kita terhadap orang lain telah memengaruhi sikap dan emosi kita. Misalnya, kita melabeli seseorang dengan sifat atau karakteristik tertentu. Penilaian ini kemudian akan mempengaruhi perasaan kita saat kita bertemu dengannya.
Sebaliknya, prasangka positif atau menguntungkan juga akan menghasilkan perasaan yang lebih positif ketika kita berada di sekitar orang-orang yang berprasangka buruk terhadap kita.
Sekali lagi, meskipun keduanya didasarkan pada penilaian yang tidak akurat, prasangka positif ini, dalam konteks umum sangat ditekankan.
Selanjutnya, perasaan yang muncul dari penilaian yang tidak tepat seperti itu sangat mungkin muncul dalam perilaku. Ketika muncul dalam perilaku, sangat mungkin korban atau sasaran prasangka, terutama prasangka negatif ini, dirugikan secara sosial. Bentuk perilaku yang lahir dari prasangka disebut diskriminasi.
Diskriminasi dapat muncul dalam ranah interaksi antar individu, dan yang lebih parahnya, terjadi dalam interaksi sosial yang lebih luas. Ada banyak jenis diskriminasi yang terjadi berdasarkan faktor-faktor yang terkait dengan diskriminasi tersebut, misalnya: Islamophobia (diskriminasi terhadap Muslim), rasisme (diskriminasi berdasarkan ras), seksisme (diskriminasi berdasarkan jenis kelamin), ageism (diskriminasi terhadap usia tertentu).
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa pemikiran kita berperan dalam munculnya fenomena negatif di masyarakat seperti diskriminasi. Hal-hal besar yang muncul dari proses kognitif yang tidak akurat dalam membuat penilaian atau kesimpulan tentang orang lain (prasangka).
Kita masih ingat tragedi al-ifku yang menimpa Siti Aisyah, istri Rasulullah SAW. Karena dicurigai selingkuh, masyarakat Madinah pun gempar. Rasulullah SAW tidak berkenan.
Desas-desus demi gosip bertebaran di setiap sudut kota. Ketegangan ada di mana-mana. Kedamaian hilang. Padahal, kabar perselingkuhan tersebut hanyalah sebuah kebohongan yang sengaja disebarkan oleh kaum munafik. Untuk alasan ini, menghindari prasangka sangat ditekankan dalam Islam.
Bagaimana Cara Menghindari Prasangka Buruk Dalam Kehidupan Sehari-Hari ?
Islam telah mengkritik keras mereka yang berperilaku berdasarkan prasangka. Kita tahu istilah fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Tentunya karena fitnah sangat mungkin lahir dari prasangka yang ada di benak kita.
Lebih jelasnya, Allah menegaskan bahwa hal itu terkait dengan prasangka yang sangat mungkin menimbulkan gosip dengan kritik yang pedas, masih dalam Q.S Al Hujuraat: 12.
“Dan janganlah kalian saling menggunjingkan yang lain. Apakah kalian suka menjadi orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa benci atau jijik untuk memakannya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat dan maha penyayang.”
Landasan moral dari ayat di atas tentunya dapat menjadi motivasi bagi umat Islam untuk menjauhi prasangka negatif terhadap orang lain. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana psikologi dapat membantu proses individu untuk menjauhkan diri dari prasangka negatif terhadap orang lain?
Beberapa poin yang kita bangun berdasarkan tingkat pikiran dan perasaan kita di bawah ini, Insya Allah bermanfaat bagi kita semua.
Pertama, tekankan bahwa pikiran kita atau apa yang kita pikirkan benar-benar penting. Ini bisa menjadi akar dari banyak masalah, baik individu maupun sosial. Kita perlu mengatur pikiran kita agar objektif dan hati-hati.
Meskipun mengandung bias, usahakan agar outputnya positif. Bahasa yang keren, berpikir positif. Namun tetap saja yang utama adalah objektivitas dan kejujuran dalam menilai atau menarik kesimpulan.
Kedua, fokuslah pada apa yang kita rasakan, lalu kita perlu berusaha menumbuhkan perasaan positif di dalam diri kita. Perasaan positif ini bisa dihasilkan dengan mengatur pikiran dan perilaku kita.
Pikiran positif akan memberikan dampak emosional yang positif. Misalnya apa yang kita rasakan setelah kita memberikan sesuatu kepada orang lain. Orang lain mungkin merasa bahagia, karena dia menerima apa yang dia butuhkan. Dan kita mungkin juga merasa lebih bahagia, karena mereka membuat orang lain bahagia.
Artinya, energi negatif yang muncul dalam prasangka, seperti kotoran yang masuk ke air. Itu dapat dibersihkan dengan terus menambahkan air jernih ke dalamnya. Cara untuk “menambah air” adalah dengan terlebih dahulu memahami prasangka negatif yang muncul karena peta pikiran kita sangat sempit.
Kita tidak memiliki informasi alternatif yang cukup untuk memberikan penilaian atas situasi eksternal yang kita hadapi. Perluas peta pikiran kita. Semakin lengkap dan detail peta yang kita miliki, semakin kecil kemungkinan kita tersesat. Demikian pula, ketika kita memberikan penilaian terhadap seseorang, kelompok atau situasi, semakin rinci informasinya, semakin lengkap gambarannya, semakin kecil kemungkinan kita membuat kesalahan penilaian.
Cara memperluas peta pikiran adalah dengan bertanya, membuat klarifikasi dan dalam Islam konsep bertanya yang keren adalah tabayyun.
Ke tiga, untuk menghindari suudzon, lebih baik kita
kembali berdzikir sehingga setan pun akan takut. Inilah yang ditegaskan dalam
firman Allah SWT dalam QS: Al A'raf: 200. "Dan jika kamu diserang oleh
godaan setan maka berlindung kepada Allah."
Di ayat lain juga disebutkan, “Kamu baca Alquran, hendaklah kamu memohon perlindungan kepada Allah dari setan terkutuk. Nyatanya, Setan tidak memiliki kuasa atas orang-orang yang beriman dan percaya pada Rabb-nya. Nyatanya, kekuasaannya (syaitan) hanya atas mereka yang mengambilnya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang menyekutukannya dengan Allah. "(Surah An Nahl: 98-100).
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya dalam hal itu benar-benar ada peringatan bagi mereka yang berhati atau yang pandai mendengar, sedang dia menyaksikan." (QS. Qaf: 37). Sehingga kita sebagai muslim dituntut untuk selalu menjaga ucapan dan perilaku kita. Termasuk tidak berprasangka buruk atau suudzon kepada orang lain.
Kapan Kita Di Bolehkan Berprasangka Buruk Kepada Manusia ?
Namun perlu diketahui, ada prasangka buruk yang diperbolehkan. Syaikh As Sa'di menjelaskan surat Al Hujurat ayat 12 di atas: “Allah Ta'ala melarang sebagian besar prasangka buruk terhadap sesama mukmin, karena“ sebenarnya beberapa prasangka adalah dosa ”.
Yaitu prasangka yang tidak sesuai dengan fakta dan bukti” (Taisir Karimirrahman), yaitu bila prasangka didasarkan pada bukti atau fakta, maka tidak termasuk “sebagian prasangka” yang dilarang.
Syekh Abdul Aziz bin Baz juga berkata, maka yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah tidak berprasangka buruk terhadap sesama muslim kecuali dengan bukti. Seharusnya tidak meragukan kebaikan saudaranya atau berprasangka buruk terhadap saudaranya kecuali jika ia melihat tanda-tanda yang memperkuat prasangka tersebut, jika demikian maka itu adalah oke.
Dia juga berkata, jadi sudah menjadi kewajiban seorang muslim, baik laki-laki atau perempuan, untuk menjauhi prasangka. Kecuali jika ada penyebab yang jelas (yang menunjukkan keburukan). Jika tidak, maka wajib meninggalkan prasangka.
Tidak boleh ada prasangka buruk terhadap istri, suami, anak-anak, saudara-saudara suami, bapak atau saudara muslim lainnya. Dan harus berprasangka baik terhadap Tuhan, maupun kepada sesama saudara muslim, kecuali ada alasan yang jelas yang membuktikan tuduhan tersebut.
Jadi prasangka berdasarkan bukti, atau tanda, atau sebab yang menguatkan tuduhan itu diperbolehkan. Misalnya, jika kita melihat seseorang datang ke tempat parkir sepeda motor dan kemudian membuka paksa salah satu sepeda motor dengan tergesa-gesa, kita mungkin mengira dia ingin mencuri.
Atau kita melihat orang-orang berkumpul di pinggir jalan ditemani botol-botol arak dengan wajah kuyu dan mata sayu, kita mungkin mengira mereka sedang mabuk.
Demikian penjelasan panjang mengapa kamu tidak boleh berprasangka buruk dan mempunyai hati yang kotor.
Sumber : https://republika.co.id/berita/qbtnpp320/alasan-mengapa-prasangka-buruk-sangat-dilarang-islam, https://fpscs.uii.ac.id/blog/2020/07/08/mengapa-dan-bagaimana-menghindari-prasangka-buruk-suudzon/, https://news.detik.com/berita/d-4885642/larangan-suudzon-dalam-islam-dan-doa-agar-tak-melakukannya, https://almanhaj.or.id/3196-hukum-berburuk-sangka-dan-mencari-cari-kesalahan.html,